Bagi orang modern, sekolah menjadi tempat yang utama untuk mendidik
anak. Mulai jenjang dasar hingga pendidikan tinggi. Ilmu yang dipelajari
di sekolah memiliki tingkat kedalaman yang berbanding lurus dengan
jenjangnya. Semakin tinggi gelar akademik, orang tersebut seharusnya
mampu menemukan ‘kunci’ kehidupan. Kunci bisa dimaknai sebagai perpaduan
antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Adapun di dalam Islam, lembaga pendidikan yang bernama ‘sekolah’
merupakan salah satu instrumen pendidikan. Selain itu ada pendidikan
keluarga dan masyarakat. Asal mulanya, sekolah ini hanya berfokus pada
kecerdasan intelektual dengan penguasaan ilmu umum dan ‘bukti’ akademik
(ijazah). Untuk mengimbangi pemahaman akademik yang sekuler, munculnya
‘sekolah Islam’. Identitas Islam ini untuk menjadi tanda bahwa di-dalam
proses pembelajarannya memadukan antara ilmu umum dan keagamaan, formal
dan informal, ilmu dan amal, serta kecerdasan dan kemuliaan akhlak.
Pendidikan sesungguhnya tujuan utama dalam mengenal Tuhan melalui
dirinya. ‘Man arofa nafsa man arofahullah’. Seorang murid harus mampu
mengoptimalkan potensi yang meliputi jasad dan rohaninya, akal dan
hatinya – sebagai alat untuk memahami maksud Tuhan. Hingga ia
mengucapkan ‘robbana maa kholaqta hadza batilan’. Dengan kata lain,
kejadian apapun yang ditemui manusia – pasti tersimpan ‘maksud’ Tuhan.
Ada ungkapan jawa : ‘Empan Papan’. Tidak ada ciptaan Tuhan yang buruk,
asal diletakkan pada tempatnya.
Namun, perjalanan sekolah Islam mengalami penurunan kualitas. Ada
tiga indikator yang menjadi muara penurunan. Pertama, hilangnya
identitas sebagai sekolah islam. Tidak ada bedanya dengan sekolah umum,
kecuali lantunan kitab suci dan sholat berjamaah. Meskipun beberapa
sekolah umum juga menerapkan pembiasaan religius tersebut. Penyebab
utama dari hilangnya identitas adalah minimnya pemahaman pengelola
terhadap ajaran Islam, visi-misi sekolah, dan budaya Islam. Mereka
terjebak pada simbol dan ritual ibadah semata. Sekolah Islam seharusnya
mampu mencetak kader kebaikan (dai) dan melakukan transformasi masa
depan (agent of change).
Kedua, hilangnya kemandirian sekolah. Kemandirian ini disebabkan
faktor eksternal yaitu kebijakan pendidikan nasional. Meskipun orde
reformasi menerapkan desentralisasi tapi tidak sepenuhnya. Banyak
sekolah yang kebingungan ketika ada pergantian menteri yang otomatis
diikuti kebijakan baru. Baik kurikulum, sistem manajemen sekolah, maupun
kesejahteraan guru. Sekolah Islam seharusnya mampu merancang kurikulum
secara mandiri, gurunya memiliki kemandirian dalam inovasi PBM, serta
Kepala Sekolah yang inovatif. Kemandirian ini tidak berarti menentang
kebijakan pemerintah tapi tetap di dalam koridor dengan fokus
peningkatan mutu sekolah.
Ketiga, Menguatnya standarisasi pendidikan. Kata ‘standar’ ini
menjadi keniscayaan dalam dunia modern dan bersifat global. Standarisasi
dalam pendidikan meliputi : akreditasi, sertifikasi, dan ujian
nasional/sekolah. Semua sekolah ‘harus’ tunduk pada standar yang disusun
oleh pihak lain. Dampak baik dari sistem ini yang diharapkan ialah
memacu daya saing. Tapi yang menjadi problem adalah seringkali
meniadakan keunikan baik secara institusi sekolah maupun manusia baik
itu guru atau siswa. (anjaya-w)
Repost from: http://www.smait.aluswahsby.sch.id/menakar-mutu-sekolah-islam/